![]() |
Ustaz Rachmat: Refleksi Diri Lebih Baik dari Perayaan Tahun Baru |
NARASIRAKYAT, Sidrap, Sulawesi Selatan – Pergantian tahun Masehi yang jatuh pada 1 Januari kerap dirayakan oleh masyarakat di seluruh dunia dengan berbagai tradisi. Namun, dalam pandangan Islam, perayaan ini memunculkan pertanyaan: Pantaskah seorang Muslim merayakan Tahun Baru?
Perayaan Tahun Baru berakar dari tradisi Romawi kuno, di mana Janus, dewa permulaan dan transisi, dihormati pada awal Januari. Julius Caesar, melalui kalender Julian, menetapkan 1 Januari sebagai awal tahun. Tradisi ini kemudian diperkuat oleh kalender Gregorian yang diperkenalkan oleh Paus Gregorius XIII pada abad ke-16, yang menjadikannya standar global.

Islam memiliki kalender sendiri, yaitu Hijriah, yang berlandaskan peristiwa penting dalam sejarah Islam: hijrahnya Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah. Bagi seorang Muslim, merayakan Tahun Baru Masehi bukan hanya soal perayaan semata, tetapi juga tentang mempertimbangkan nilai dan prinsip yang sesuai dengan akidah.
Ustaz Rachmat menyarankan agar seorang Muslim fokus pada refleksi diri dan meningkatkan amal kebaikan tanpa perlu terikat pada tradisi yang tidak sejalan dengan nilai-nilai Islam. “Mengganti perayaan dengan memperbanyak doa, muhasabah, atau aktivitas positif lainnya lebih bernilai dan mendekatkan diri kepada Allah SWT,” tambahnya.
Beragam tanggapan muncul di kalangan umat Muslim. Sebagian besar menyadari pentingnya menjaga identitas Islam, namun ada pula yang masih terpengaruh oleh budaya populer. Dalam hal ini, edukasi menjadi kunci untuk memberikan pemahaman yang lebih mendalam.
Sebagai seorang Muslim, merenungkan makna dan akar dari sebuah perayaan sebelum mengikutinya adalah langkah bijak. Refleksi ini tidak hanya menjaga keimanan, tetapi juga memperkokoh identitas sebagai umat Islam yang memahami sejarah dan prinsip-prinsip agama.