
Penulis : Romy Nugraha, akademisi sekaligus Dosen di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Ichsan Sidenreng Rappang
NARASIRAKYAT, Sidrap, 10 Oktober 2024 – Indonesia sedang menghadapi fenomena ekonomi yang mengkhawatirkan: deflasi selama lima bulan berturut-turut. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia mengalami deflasi mulai dari bulan Mei dengan angka minus 0,03%, Juni 0,08%, Juli 0,28%, Agustus 0,03%, dan terakhir September 0,12%. Kondisi serupa juga terjadi di beberapa wilayah, termasuk Sulawesi Selatan, di mana deflasi tercatat minus 0,09% pada September 2024. Meskipun turunnya harga barang terlihat sebagai kabar baik bagi konsumen, fenomena ini sebenarnya membawa ancaman yang jauh lebih besar bagi perekonomian, terutama terkait daya beli masyarakat yang melemah dan meningkatnya risiko Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di berbagai sektor.
Deflasi biasanya diartikan sebagai penurunan harga barang dan jasa, yang seharusnya memberikan manfaat bagi konsumen dengan harga yang lebih terjangkau. Namun, kenyataannya, deflasi ini menjadi sinyal adanya masalah mendasar dalam perekonomian, yaitu lemahnya daya beli masyarakat. Ketika konsumen menunda pembelian dengan harapan harga akan terus turun, permintaan barang dan jasa akan berkurang, menyebabkan pelambatan aktivitas ekonomi. Hal ini berdampak pada sektor ritel yang menjadi pilar utama konsumsi rumah tangga di Indonesia.
Menurut data Purchasing Managers’ Index (PMI) dari sektor manufaktur, terjadi penurunan signifikan dari 54,2 poin pada Maret menjadi 49,2 poin pada September 2024. Penurunan ini menandakan melemahnya aktivitas industri, terutama karena sektor ritel yang selama ini menopang produksi manufaktur mengalami tekanan besar akibat penurunan permintaan konsumen.
Selain itu, fenomena meningkatnya utang konsumen akibat maraknya pinjaman online memperburuk situasi. Konsumen lebih memilih menggunakan pendapatan mereka untuk membayar utang daripada membelanjakannya untuk barang dan jasa, yang memperparah penurunan daya beli.
Deflasi juga memicu kekhawatiran akan terjadinya gelombang PHK di berbagai sektor industri, terutama yang padat karya seperti manufaktur, tekstil, otomotif, serta makanan dan minuman. Ketika permintaan turun, perusahaan terpaksa mengurangi produksi dan efisiensi, yang pada akhirnya menyebabkan pengurangan tenaga kerja. Gelombang PHK ini tidak hanya akan menambah angka pengangguran tetapi juga memperburuk daya beli masyarakat, menciptakan lingkaran setan yang sulit dipatahkan.
Menurut Romy Nugraha, akademisi sekaligus Dosen di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Ichsan Sidenreng Rappang, “Jika deflasi ini terus berlanjut tanpa adanya intervensi dari pemerintah, kita akan menghadapi gelombang PHK yang signifikan, terutama di sektor padat karya. Ini bisa menjadi awal dari krisis ekonomi yang lebih dalam.”
Solusi untuk Mengatasi Deflasi dan Ancaman PHK
Dalam menghadapi ancaman deflasi yang berlarut-larut, pemerintah harus mengambil langkah cepat dan tegas. Beberapa solusi yang diajukan oleh para ekonom dan akademisi adalah sebagai berikut:
1. Kebijakan Moneter Longgar: Pemerintah perlu mempertimbangkan kebijakan moneter yang lebih longgar untuk meningkatkan peredaran uang dan kredit di masyarakat. Ini akan mendorong konsumsi dan investasi, serta memberikan stimulus bagi dunia usaha.
2. Stimulus Fiskal: Pemerintah harus segera menggulirkan stimulus fiskal dalam bentuk belanja infrastruktur dan dukungan bagi usaha kecil dan menengah (UKM) untuk menciptakan lapangan kerja baru. Dengan adanya proyek infrastruktur dan peningkatan produksi di UKM, diharapkan penyerapan tenaga kerja bisa meningkat.
3. Program Bantuan Sosial: Bantuan sosial yang tepat sasaran sangat diperlukan untuk menjaga daya beli masyarakat yang paling terdampak. Subsidi dan bantuan tunai harus difokuskan kepada kelompok masyarakat rentan untuk mencegah mereka jatuh ke dalam kemiskinan.
4. Dukungan terhadap Sektor Padat Karya: Pemerintah juga perlu memberikan insentif kepada sektor-sektor padat karya seperti manufaktur dan tekstil agar tetap bertahan di tengah situasi sulit ini. Bantuan fiskal dan pengurangan biaya produksi bisa menjadi solusi untuk menjaga stabilitas tenaga kerja.
Deflasi selama lima bulan berturut-turut menjadi alarm serius bagi perekonomian Indonesia. Jika tidak diatasi dengan segera, dampaknya bisa meluas menjadi krisis konsumsi dan meningkatnya angka pengangguran akibat PHK massal. Harga barang yang murah seharusnya menjadi kabar baik bagi masyarakat, namun tanpa daya beli yang kuat dan stabilitas lapangan kerja, penurunan harga ini justru bisa menjadi awal dari krisis yang lebih dalam. Oleh karena itu, sinergi antara pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat sangat diperlukan untuk menghadapi tantangan deflasi dan menjaga perekonomian Indonesia tetap stabil.